Home / berita / Seputar PERADI

Perlindungan Terhadap Pihak Ketiga Beriktikad Baik Perlu Diperkuat

WWW.HUKUMONLINE.COM | 06 Apr 2021

Harta kekayaan pihak ketiga merupakan salah satu barang yang kerap disita atau dirampas oleh aparat penegak hukum dalam perkara pidana seperti korupsi dan pencucuan uang. Sayangnya penyitaan atau perampasan ini tidak didahului oleh proses penilaian yang baik untuk mengetahui apakah pihak ketiga ini mendapatkan harta kekayaannya secara wajar atau tidak. Ketua Umum DPN Perhimpunan Advokat Indonesia Suara Advokat Indonesia (PERADI SAI), Juniver Girsang, mengatakan pasal 19 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur mekanisme untuk melindungi pihak ketiga beritikad baik.

Ketentuan tersebut, menurut Juniver, merupakan bentuk perintah aktif bagi hakim untuk melihat, dan memastikan barang bukti yang disita baik oleh penyidik atau jaksa penuntut umum harus memenuhi kriteria peraturan perundang-undangan. Misalnya sebagaimana diatur dalam pasal 39 ayat (1) jo pasal 18 ayat (1) UU No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Persoalan yang kerap dihadapi pihak ketiga beriktikad baik yang hartanya dirampas atau disita, menurut Juniver, antara lain belum ada hukum acara yang tegas mengatur bagaimana mekanisme pihak ketiga mengajukan keberatan terhadap proses tersebut. Bahkan sampai saat ini belum ada SEMA yang mengatur hukum acara itu.

Sekalipun pengajuan keberatan itu diperiksa pengadilan, bagaimana prosesnya, apakah berjalan bersamaan dengan pokok perkara? Lalu bagaimana jika ada putusan yang saling bertentangan ketika putusan pidana memutuskan untuk merampas harta tersebut dan dalam perkara perdata sebaliknya. “Dalam praktik ini membingungkan,” katanya dalam peluncuran buku bertema Perlindungan Pihak Ketiga yang Beritikad Baik Atas harta Kekayaan Dalam Perkara Pidana secara daring, Senin (1/3).

Selain itu Juniver menambahkan, praktiknya di pengadilan hakim memiliki pandangan yang saling berbeda dalam melihat tentang pihak ketiga beriktikad. Menurutnya, jika dalam proses di pengadilan ada pihak ketiga beriktikad baik maka harus diperiksa untuk membuktikan apakah harta atau barang yang dirampas merupakan miliknya atau tidak. “Saat ini tidak ada kepastian bagaimana pihak ketiga beritikad baik dapat menuntut haknya,” ujarnya.

Patra M Zen, yang merupakan penulis buku tersebut mengatakan, buku yang ditulisnya ini menyentuh moralitas penegak hukum termasuk advokat. Oleh karena itu jika belum ada hukum acara yang mengatur mengenai keberatan yang diajukan pihak ketiga beriktikad baik untuk mendapatkan haknya maka harus dibuat regulasi yang mengaturnya.

Pemberantasan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang tidak boleh menghilangkan hak atas harta kekayaan pihak ketiga beriktikad baik. “Ini dijamin konstitusi di mana setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu merupakan hak asasi,” urai pria yang juga menjabat sebagai Sekretaris Jenderal DP PERADI SAI tersebut.

Patra berpendapat hukum pidana yang ada belum memadai untuk menilai iktikad baik pihak ketiga. Pihak ketiga mengalami ketidakadilan dalam proses hukum misalnya di tahap penyidikan di mana penyidik menyita harta kekayaan pihak ketiga hanya mengandalkan keterangan saksi tanpa ada pemeriksaan mendalam melalui pemeriksaan keuangan forensik. Kemudian dalam putusan, majelis tidak menguraikan dasar dan bukti untuk memutus barang bukti pihak ketiga dirampas negara. “Ada putusan yang tidak menguraikan dalam pertimbangan kenapa dinyatakan dirampas negara,” paparnya.

Patra menjelaskan salah satu mekanisme yang digunakan pihak ketiga beriktikad baik untuk mendapatkan haknya yakni mengajukan keberatan sebagaimana diatur pasal 19 UU Pemberantasan Korupsi. Tapi kendalanya sampai sekarang belum ada hukum acara yang mengatur untuk memberikan pedoman pelaksanannya. “Perlindungan pihak ketiga masih diabaikan karena penekanan perlindungan hak hanya pada tersangka, terdakwa dan terpidana. Padahal perlindungan pihak ketiga juga perlu diperkuat,” katanya.

Dalam buku yang diangkat dari disertasi doktoralnya di Universitas Krisndwipayana itu Patra mengusulkan untuk dibuat mekanisme kompensasi. Misalnya, terbukti barang yang disita itu diperoleh oleh pihak ketiga dengan itikad baik maka penyidik harus memberikan kompensasi karena harta yang disita itu tidak bisa digunakan sebagaimana mestinya. “Dengan kompensasi itu diharapkan aparat penegak hukum lebih berhati-hati dan tidak sembarangan menyita harta kekayaan pihak ketiga beritikad baik,” usulnya.

Sumber Berita : hukumonline.com